Menggunakan Teknologi dalam Belajar



 Menggunakan Teknologi dalam Belajar

Berkaca dari Pengalaman.

 

Baca juga: https://www.gurupenggerakindonesia.com/

 

Fakta bahwa penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan terus meningkat terutama seiring pandemi virus Covid-19 yang menginfeksi manusia secara global. Misalnya, peningkatan pengguna aplikasi video conference yang secara pesat meningkat (Bisnis.com; katadata.co.id). Penggunaan teknologi untuk membantu proses pembelajaran juga meningkat, seiring dengan penyebaran virus ini. Contohnya, penggunaan aplikasi seperti, Google Classroom, dan Zoom atau Google Meet oleh para guru untuk membantu menjelaskan materi kepada para siswa melalui video conference. Sebelum pandemic Covid-19 terjadi, beberapa website dan aplikasi juga dapat digunakan untuk membantu pembelajaran secara luring. Misalnya, Kahoot, Canva, Mentimeter, aplikasi Ruang Guru dan Quipper. 

Namun apakah penggunaan teknologi untuk pembelajaran yang selama ini telah digunakan telah membuat pembelajaran menjadi menyenangkan bagi guru maupun siswa? Faktor apa saja yang mempengaruhi pembelajaran menjadi menyenangkan menggunakan teknologi? Apakah ada tantangan yang juga mempengaruhi pembelajaran daring dan luring menggunakan teknologi menjadi tidak selamanya menyenangkan? Pada tulisan ini saya akan mencoba melihat peran teknologi pada kedua mode pembelajaran tersebut untuk menjawab ketiga pertanyaan diatas.

 

Penggunaan Teknologi Terkini Dalam Pembelajaan.

Pada era revolusi industry 4.0 penggunaan internet dan aplikasi untuk mendukung pembelajaran meningkat pesat. Misalnya, meningkatnya penggunaan aplikasi Google Classroom, Google Meet, Zoom, bahkan situs online seperti Kahoot & Mentimeter untuk mendukung pembelajaran daring dan luring. Sebagai guru saya telah mencoba beberapa fasilitas seperti disebutkan sebelumnya. Kahoot sangat membantu saya dalam memfasilitasi permainan yang berfungsi sebagai ice breaker pada saat pembelajaran luring yang dilakukan beberapa waktu lalu. Google Classroom membantu saya dalam pengorganisasian kelas virtual.

Penggunaan teknologi terkini dalam pembelajaran dapat memberikan dampak positif bagi para siswa. Fei & Hung (2016) mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi dalam pembelajaran mampu berkontribusi untuk meningkatkan kemampuan yang diperlukan untuk pembelajaran abad 21 seperti, self-directed learning (belajar mandiri/merdeka belajar) & collaborative learning (kolaborasi). Ungkapan para penulis ini dapat terlihat pada saat pembelajaran daring melalui, penggunaan Google Classroom, Zoom, Canva dan Kinemaster yang dapat menstimuli siswa untuk mengaplikasikan self-directed learning atau berkolaborasi dalam kelompok. Misalnya, penggunaan Zoom untuk pertemuan kelompok siswa, atau Kinemaster dan Canva untuk pengeditan dan produksi video atau brosur project siswa.  

Di satu sisi sebagai guru, hal ini sangat menyenangkan karena disamping saya juga mendapat pengetahuan dan skill baru terkait teknologi baru, dengan teknologi tersebut saya dapat membawa siswa saya untuk menikmati pengalaman baru dalam belajar; misalnya, kelas daring melalui konferensi video. Fei & Hung (2016) juga melihat bahwa penggunaan teknologi dalam pembelajaran berpotensi mendorong terjadinya pergeseran peran guru, dari guru sebagai sarana penyampaian informasi, guru sebagai fasilitator menjadi guru sebagai desainer pembelajaran. Sebagai seorang guru yang menggunakan teknologi, hal ini menjadi mungkin. Dengan menggunakan fitur-fitur yang tersedia, tentunya seorang guru juga mendapat kesempatan untuk mendesain pembelajaran virtual yang disesuai kan dengan apa yang menjadi target pembelajaran.

Disisi yang lain, perasaan gembira juga dirasakan oleh siswa saya, yang mana sebagai remaja, tentunya mereka juga masih menikmati bermain sambil belajar, apalagi dengan kondisi itu mereka mendapati pengetahuan mereka bertambah. Kahoot dapat memfasilitasi hal tersebut melalui permainan interaktif dan kompetisi yang menyenangkan antara siswa di dalam kelas, karena permainan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk bermain dalam kelompok ataupun individu. Ketika saya mengaplikasikan situs online Kahoot pada kelas luring saya beberapa waktu lalu, anak-anak merasa gembira karena mereka dapat berkompetisi sembari unjuk pengetahuan materi dengan teman lainya. Kahoot sendiri memberi kesempatan kepada guru untuk mendesain pertanyaan permainan yang berisikan tentang materi pembelajaran yang sedang dipelajari siswa.

 

Faktor Yang Bisa Membuat Pembelajaran Menyenangkan

Pertanyaan kedua adalah faktor apa saja yang bisa membuat pembelajaran menggunakan teknologi menjadi menyenangkan. Untuk melihat hal tersebut, saya melihatnya melalui kacamata teori Self-Determination (Self-Determination Theory /SDT) (Deci 1991), khususnya tiga faktor psikologi yang terkandung didalamnya. 

Secara singkat, Self-Determination (SD) adalah suatu kondisi dimana sesuatu yang dilakukan seseorang untuk belajar muncul dari motivasinya internal untuk lebih mencari tahu apa yang sedang dipelajarainya, dan hal ini merupakan murni keputusan pribadi tanpa dipengaruhi hal-hal external seperti perintah guru maupun aturan yang diberikan guru (Yoble & Moeller, 2015). Keinginan untuk belajar dan meningkatkan pengetahuan pribadi menjadi hal yang alamiah muncul dari pribadi seseorang tersebut tanpa ada paksaan dari pihak manapun (Niemiec & Ryan, 2009; Ryan & Deci 2000). Tiga faktor psikologi berperan penting bagi munculnya SD pada seseorang: Autonomy (Otonomi), Competence (kompetensi), Relatedness (hubungan sosial siswa dengan lingkungan belajarnya). Berikut adalah ketiga faktor tersebut yang tergambar dalam pengakuan beberapa siwa saya.     

Faktor psikologis pertama yang membuat pembelajaran menyenangkan adalah Otonomi. Dalam wawancara saya dengan salah satu siswa saya, Andi (nama samaran) mengafirmasi faktor psikologis ini. Dalam diskusi saya dengan Andi tentang hal yang menyenangkan dari pembelajaran online adalah ia mendapati bahwa dirinya mendapat kesempatan untuk mengatur sendiri waktunya di rumah (otonomi dalam manajemen waktu).

“pada pembelajaran online, saya bisa atur waktu sendiri, jam ini saya harus belajar ini, jam ini saya harus melakukan ini.” “saya kerja dahulu tugas yang ini, dan saya mengerjakan tugas yang ini pada waktu yang ini,” kata Andi.

Terkait dengan kompetensi, Andi menyebutkan pembelajaran daring menggunakan teknologi menjadi menyenangkan karena pengetahuan yang didapat menjadi lebih luas karena ketika mencari materi menggunakan mesin pencari Google, informasi yang tersedia lebih banyak dari informasi yang ingin dicari. Selanjutnya, ketika menggunakan teknologi yang berbasis Bahasa Inggris, Andi mengakui dapat mempelajari kosakata baru bahasa Inggis melalui keterangan ataupun konfirmasi yang tersedia pada perintah aplikasi, contohnya “this meeting has ended” pada aplikasi Zoom.

Faktor psikologis yang terakhir adalah Relatedness. Rina, seorang siswa yang lain mengakui bahwa hubungan saling percaya ketika mengerjakan tugas kelompok saat pembelajaran luring sangat diperlukan untuk memperoleh hasil optimal tugas mereka.

“Waktu itu pelajaran Biologi, kami mendapat tugas kelompok empat orang untuk meringkas. Masing-masing anggota kelompok mendapat tugas untuk meringkas bagianya masing-masing. Saya senang ketika berkelompok dengan seorang teman yang tidak suka menunda pekerjaan sehingga orang ini bisa dipercaya” Kata Rina. (Ringkasan diskusi saya dengan Rina).

Meskipun tidak terlihat penggunaan teknologi pada ungkapan Rani diatas, pengalamanya terkait relatedness mengafirmasi pemikiran yang disampaikan Ryan & Deci (2000) dalam Hargreaves (2017) bahwa relatedness mengandung perasaan memiliki, terhubung dengan individu atau kelompok atau budaya yang memiliki tujuan yang sama.

 

Tantangan Pada Pembelajaran Daring dan Luring Menggunakan Teknologi.

Disamping hal-hal yang diuraikan diatas, kita juga harus realistis bahwa terdapat beberapa faktor lain yang pada beberapa situasi, menyebabkan pembelajaran menjadi tidak menyenangkan karena penggunaan teknologi. Tiga tantangan diuraikan secara singkat dibawah.

Yang pertama adalah fasilitas atau infrastruktur. Kita tahu bahwa bonus geografis menyebabkan beberapa wilayah pedalaman di Indonesia belum terjangkau jaringan internet. Hal ini tentunya membatasi guru dan siswa di daerah-daerah tersebut untuk mengakses teknologi yang berbasis internet.

Berikutnya adalah kompetensi guru. Apakah sebagian besar guru, terkhusus di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T) telah melek teknologi untuk mendukung pembelajaran? Saya berpendapat bahwa ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.

Yang terakhir, orang tua siswa. Pada kondisi dimana pembelajaran harus dilakukan dari rumah untuk menekan penyebaran virus Covid-19, peran orang tua sangat penting. Hal ini juga masih menjadi tantangan tersendiri. Banyak anak yang bersemangat belajar online namun orang tua kesulitan dalam membimbing anak-anak tersebut di rumah. Banyak anak yang acuh dengan belajar dari rumah karena orang tua sibuk bekerja sehingga mereka hanya diawasi oleh kakek atau nenek mereka bahkan pembantu yang minim pengetahuan akan teknologi.

 

Kesimpulan

Dua hal penting menjadi kesimpulan.

Pertama. Era revolusi industry 4.0 telah kita masuki, sehingga penggunaan teknologi dalam belajar mengajar merupakan hal yang tidak bisa “dinegosiasi” lagi (Fei & Hung, 2016). Kita patut bersyukur karena pandemic Covid-19 memaksa kita untuk beradaptasi lebih awal untuk menggunakan teknologi untuk membantu proses belajar mengajar. Namun, penggunaan teknologi untuk mendukung pembelajaran kiranya tetap memperhatikan pemenuhan ketiga unsur psikologi bagi siswa: Competence/kompetensi, Autonomy/otonomi, dan Relatedness/hubungan sosial siswa dengan lingkungan belajarnya,. Hal ini menjadi penting karena ketika siswa-siswi kita diberikan kesempatan untuk mengalami ketiga hal tersebut pada pembelajaran daring maupun luring, dua hal positif akan mereka dapati. Pertama adalah hasil akademis yang baik, dan siswa akan tetap tetap termotivasi dan mandiri dalam belajar (Niemic & Ryan, 2009).   

Kedua. Tantangan pembelajaran menggunakan teknologi selalu ada, baik itu yang dihadapi oleh pemerintah, sekolah, maupun bagi keluarga di rumah. Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah-langkah yang strategis sebagai respons terhadap tantangan pembelajaran, terutama pada saat pandemic covid-19 ini. Misalnya webinar-webinar peningkatan kapasitas guru yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan nasional. Melalui kerja sama dengan penyedia jaringan telekomunikasi selular untuk memastikan siswa dan guru mendapatkan akses internet melalui quota internet Ilmupedia, bahkan penyederhanana kurikulum darurat Covid-19 untuk membantu siwa dan guru pada target pencapaian kurikulum nasional. Untuk itu, para guru hendaknya jangan berhenti untuk belajar menggunakan teknologi terkini, sehingga dengan seiring kapasitas guru meningkat, kita dapat membantu anak-anak dalam belajar.     

 

Referensi

Edward L. Deci et al (1991). Motivation and Education. The Self-Determination Perspective. Educational Psychologist, 26(3&4), 325–346.

Fei, Victor Lim & Hung, David (2016). Teachers as Learning Designers: What Technology has to Do with Learning: A View from Singapore. Educational Technology Publication.

Hargreaves, Eleanore (2017). Children’s Experience of Classroom. Talking about Being Pupils in the Classroom. SAGE London.

https://teknologi.bisnis.com/read/20200401/84/1221258/penggunaan-aplikasi-video-conference-di-indonesia-zoom-pemenangnya. [diakses pada 22 Oktober 2020].

https://katadata.co.id/ekarina/digital/5ed8a03baa91b/pengguna-video-melonjak-selama-pandemi-pendapatan-zoom-naik-169 [diakses pada 22 Oktober 2020].

https://bersamahadapikorona.kemdikbud.go.id/kompetensi-inti-kompetensi-dasar-pada-kurikulum-2013-pada-paud-dikdas-dan-dikmen-berbentuk-sekolah-menengah-atas-untuk-kondisi-khusus/

Niemiec, Christopher P. & Ryan, Richard M. (2009). Autonomy, Competence, and Relatedness in the Classroom. Applying self-determination to educational practice.

Ryan & Deci (2000). Ryan, Richard & Deci, Edward (2000). Self-Determination Theory and The Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development and Well-Being. Pp 68-78.

Yoble, Gingle Starks & Moeller, Aleidine (2015). Learning German with Rechnology: The Student Perspective. Die Unterrichtspraxis/Teaching German, Vol. 48, No. 1 (Spring 2015), pp. 41-58

 

 

Profil.

Polce Yulian Mola, S.Pd, M.A.

 

Dilahirkan di kota Kupang Nusa Tenggara Timur, tepatnya desa Nunleu No. 17, pada tanggal 25 Juli, 1984. Merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Bpk. Laazar Mola (alm) dan Ibu. Juliana Mola-Daik. Menempuh pendidikan di SD Negeri Fontein 1 Kupang (lulus tahun 1996), SMP Negeri 2 Kupang (lulus tahun 1999), SMA Negeri 1 Kupang (lulus tahun 2002), FKIP Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (lulus tahun 2006), dan University College London (lulus tahun 2018). Penulis adalah guru mapel Bahasa Inggris pada SMA Kristen Citra Bangsa Kupang, yang mempunyai hobi bermain musik. Mempunyai kerinduan agar tetap bisa berkontribusi bagi keluarga, gereja, bangsa, dan negara.

Comments